10 Januari 2013

Masalah Cinta di Depan Mata


Sudah lama sekali aku berhenti menulis. Banyak hal yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah kehampaan pikiran. Tidak ada yang peduli apakah aku menulis atau tidak. Dulu aku menulis untuk menyampaikan apa isi hatiku. Lebih tepatnya curhat, dengan tujuan orang yang aku cinta membaca curhatanku itu. Saat aku berhasil memasukkannya dalam lembaran hidupku, itulah saat dimana semangatku untuk menulis hilang. Aku terlalu terpana pada kebahagiaan semu. Terpana pada senyuman-senyuman sesaat yang pada akhirnya hanya menggoreskan luka. Ya.. Sudah sangat lama.
Pada akhirnya aku menyadari, sesuatu yang indah kadang terlupa untuk dituliskan. Sesuatu yang sendu justru lebig banyak aku tuliskan. Merasa bahwa dengan menceritakan hal sendu, orang akan berempati dan memberikan dukungannya. Tapi pada kenyataannya kita hanya larut pada kesedihan dan sulit melupakan semuanya. Kalau dulu mungkin menulis adalah curhatan hati, semoga tulisanku kali ini tak lagi berkutat pada masalah hati namun juga makna-makna kehidupan.
Umurku memang belum mengakar ke perut bumi. Di usia dua puluhan ini aku merasa belum membuat apapun yang berharga untuk hidupku sendiri. Membosankan dan penuh dengan tawa dan candaan mentah. Mungkin karena budaya di Indonesia tidak mengajarkan budaya kritis dan kurangnya kesadaran manusianya sendiri untuk mendiskusikan masalah-masalah yang serius. Kadang jika mengobrol dimanapun, yang dibahas adalah masalah cinta, cinta, dan cinta. “Gimana nggak galau kalau kemana-mana mikirin cinta”, pikirku. Yang jadi pembahasan hanyalah masalah “aku lagi suka sama X”, “si Y selingkuhin aku”, “besok aku mau hang out sama Z”, dan masih banyak lagi. Kita harus berkutat pada masalah cinta orang lain sedangkan urusan cinta diri kita sendiri belum juga menemukan titik temu. Sama saja dengan mengambil makanan orang lain sedangkan makanan kita sendiri belum habis. Serakah sekali kita! Tapi ya itulah hidup bermasyarakat. Kita berubah menjadi makhluk sosialis yang peduli dengan urusan orang, menganggap itu masalah bersama, dan menyelesaikannya bersama pula. Ambil positifnya, kita belajar banyak dari masalah orang lain dan menjadikannya studi kasus dalam menyelesaikan masalah kita nantinya.
Tapi siapa yang salah? Apakah budaya kita memang menjadikan cinta sebagai landasan hidup bermasyarakat? Aduh, bahasanya kok membingungkan sekali. Tapi begini, kita ambil contoh dongeng-dongeng yang telah diceritakan secara turun temurun. Kebanyakan dongeng yang diketahui masyarakat adalah karena kisah cintanya, ambil contoh Jaka Tarub, Ken Dedes, Bawang Putih, dan masih banyak lagi. kebanyakan memuat entah itu penolakan cinta, cinta kepaada bidadari, dll. Hingga kita sendiri kadang melupakan apa nilai moral yang terkandung dalam cerita tersebut.
Hal yang miris lagi ketika secara tidak sengaja bertemu dengan teman lama kita di jalan. Yang ditanyakan pertama adalah “eh, apa kabar, masih sama si A (nb: pura-pura lupa nama) nggak nih?”. Bukanyya menanyakan prestasi atau kerjaan kita sekarang, tapi menanyyakan masalah  yang jleb seperti itu. Kalau masih ya oke-oke saja, tapi kalau sudah tidak bersama lagi kan justru tidak enak dan membuka luka lama orang lain kan. Tapi sepertinya ada saja orang yang suka diberi pertanyaan semacam itu. Setidaknya memperlihatkan kalau dia laku. Bukan maksud menyinggung lho ya, tapi memang beberapa seperti itu. Kalau kamu tersinggung berarti kamu adalah orang yang aku sebutkan di atas, haha.. (peace choy!)
Sekarang akhirnya nasib cinta semakin miris. Belakangan pun cinta dijadikan objek tertawaan para comic di stand up  comedy. Cinta seakan bahan guyonan seru yang bisa di mainkan begitu saja. Serunya adalah kita bisa menertawakan sakitnya hati ini. Cukup dengan tertawa seakan luka kita terobati sejenak. Tapi hati-hati, ketika guyonan sudah selesai, pasti kita jadi berpikir “kok iya ya..”. Kalau tidak kuat kita bisa saja tambah terpuruk pada akhirnya. Jadi, kalau tidak mau di tertawakan, mending tidak usah nonton, kecuali ditertawakan memang bisa membuat kamu lega.
Tidak berhenti di sini saja, sekarang banyak media televise yang menyiarkan masalah cinta sebagai materi reality show. Sebut saja Take -piiip- Out, Cari -piiip- dot Com, Marry -piiip- (ceritanya di sensor) dan masih banyak lagi. Cinta bukan menjadi masalah privat lagi, tapi dipertontonkan di media seluruh Indonesia. Bayangkan, kita jadian dan di tonton ribuan pasang mata. Penonton juga merasa terhibur melihat pasangan-pasangan itu kencan dan pada akhirnya di tolak juga. Mending kalau jadian, ini sudah ditampilkan, dijelek-jelekkan, di tolak pula. Kasihan sekali pria-pria di layar kaca itu. Lebih parah lagi orang-orang mulai membindangkannya di Twitter. Ya kalau baik sih lumayan, nah kalau ditolak? Mampus deh. Kita juga merasa penting melihat sampai akhir cerita. “Kok akhirnya mbak cantik itu jadian sama masnya yang kurus dan alay itu? Kok mas yang macho itu mau sama penyanyi dangdut?” Ya udah sih, itu mereka yang jadian, kok kita yang sewot.
Tapi apakah cinta akhirnya memberikan damppak positif bagi kita? Mungkin iya juga sih, ambil positifnya, bisa antar jemput, dianterin makan dan dibayarin pula, disebrangin jalan, diajak jalan-jalan. Ya positif sekali sih, kedok cinta membuat salah satu diantaranya sengsara. Hahaha..
Tapi percayalah, suatu hari kita akan menyadari bahwa cinta itu benar-benar ada dan membuat kita bahagia. Khususnya cinta kedua orang tua.

Cheers, Dian K

Tidak ada komentar: