30 Mei 2009

Bulan Dua Kenal Dia

Dialah sepercik cahaya
Birulah nampaknya
Berkerlip jauh di angkasa
Dalam bimasakti berlaga

Pucuk bulan tiba
Bulan dua Bulan kenal dia
Tanpa makan basi minum basa
Ada kurasa permata di ujung mata

Dalam lubuk bercita
Dalam hati berangan
Dalam pikir bersuka
Dalam harap Bulan

Tidak sehalus sutra
Tidak semanis gula
Tidak sekokoh tembok cina
Tapi ku cinta Dia..

22 Mei 2009

Pulang ke Kota Kecil Rumahku

Kala itu matahari kembali kan pulang. Aku memandang semburat sinar merona merah di balik perbukitan tua. Burung-burung pipit hendaklah kembali ke sarang. Terbang melayang di atas kepalaku. Ayam hitam mulai menutup kandang. Menutup hari dengan sepiring jagung kering. Jalanan mulai kosong dan renggang. Hanya derap langkah rodaku yang terdengar menggema mengusik pepohonan sepi. Angin berlumur debu menari bersama daun kering menyapu pandanganku. Sesaat menampar pipiku halus namun menusuk mataku perih. Harum aroma jahe membumbung saat ku lalui bangunan tua nan legam. Asap dimana-mana namun pekerja tetap setia pada sang gulali penyambung nyawa. Pabrik permen jahe itu tetap meroda meski malam kan tiba. Masih ku pacu laju kendaraanku pelan. Ingin ku nikmati sore nan syahdu di kota nan kecil ini. Perumahan mungil semi modern berjajar di sela rumah-rumah nan renta. Seolah ingin tunjukkan, "Lihat! Aku dapat hidup di hamparan rumah tua ini!". Di hadapannya berdiri rumah sakit tua yang sepi. Kolamnya kering, catnya mengelupas, bahkan gerbangnya tertutup sebelah. Satu dua motor tampak terpaku di tempat parkir yang berdebu. Hanya lampu jalan putih terang yang seolah hidup disana. Menerangi sebagian jalan yang buta. Rumah sakit itu terus begadang, karena banyak orang menggantungkan hidup disana.
Jalan lurus menanjak menantangku di depan mata. Ku masukkan gigi dua agar kuat sampai di atas sana. Di sebelah kiri ku lihat pak tua berjenggot lebat tengah memandangku tajam. Bukan, bukan memandangku, namun mencari sesuap nasi di jalanan sepi. Tukang ojek bersama motor tuanya itu mengamati jalanan yang renggang hendak mencari penumpang yang akan memberi keluarganya kehidupan. Hidupnya pastilah tidak semudah anggukan ramahnya pada setiap orang yang ia pandang. Malam menjelang, namun ia masih bekerja.
Tak jauh, hamparan sawah nan hijau serasa meliuk-liuk seiring laju angin nan syahdu. Tiba-tiba seorang nenek renta tengah menyeberang jalan tanpa menoleh kanan kiri. Ku hanya amati dia. Tak tega menyalahkannya atas apa yang telah ia perbuat. Jalannya yang pincang tak hiraukan beban di pundaknya yang berat. 10, 20, mungkin 30 kilogram beban yang ia pikul. Ya, mungkin rumput dan sabit adalah teman hidupnya. Nenek tua pulang membawa kabar gembira pada anak cucunya. "Lihat, nenek dapat banyak rumput untuk kambing kita". Begitu pikirku.
Perjalanan pulang saat itu sedikit memberiku ilham. Betapa keras perjuangan orang tua kita demi sesuap nasi pengganjal nyawa. Keikhlasanlah yang mereka miliki untuk menghidupi kita, buah hati mereka. Hendak ku meneteskan air mata. Mengapa aku sering lupa, pada perjuangan mereka. Bodohnya aku yang masih muda ini. Harusnya aku belajar lebih keras paling tidak untuk membahagiakan mereka.
Terus aku melenggang kangkung dalam satu kilometer jalan menuju rumahku. Aku bagai melaju di gurun dingin yang gelap. Tiada seorangpun teman bersama. Hanya dua roda yang setia. Bersama desiran angin yang berdansa. Tak sabar aku pulang ke dambaan keluarga. Ku percepat laju rodaku. Hingga sampai di sebuah gapura nan bercahaya. Meski rumput liar menggerogoti fondasinya, namun tetap berdiri kokoh menantang jalan raya. Ku sikukan rodaku, berbelok tajam ke arah kanan. Ku lewati gang aspal yang mulai gelap. Senyum tetangga menghangatkan badanku yang membeku karena udara jalanan. Tawa riang anak kecil bercanda gurau di perempatan gang yang menyilaukan. Akhirnya tibalah aku di sebuah rumah kecil yang begitu hangat. Beringin tua kecil di hadapannya mengingatkanku pada masa kecilku di rumah ini. Pagar hijaunya menyegarkan pikiranku. Semerbak wangi lavender mengharumkan penciumanku. Liuk tanaman yang mengelilingi rumah serasa menyambutku bahagia. Lampu neon yang tua itu baru saja ibu hidupkan saat ku tiba di muka rumah. Ku matikan mesin rodaku. Ku sandarkan ia di atas paving merah muda nan kian menghitam. Di muka rumah nampak senyum hangat adikku menyapaku rindu. Tawa tengilnya menghilangkan segala dahaga. Di ruang tamu, sapa orang tuaku meruntuhkan segala kecapaian yang ku bawa usai menuntut ilmu. Hanya bahagia yang kurasa saat itu. Akhirnya aku tiba ke rumahku yang hangat akan kasih sayang, sebuah keluarga besar nan bahagia. Di dalam rumah kecil yang damai. Selamanya...

21 Mei 2009

Dua Belas Aku Terjaga

Malam nan sepi sendu
Tak dapat pejamkan aku
Dua bola mata nan sayu
Basah akan kisah haru
Resah akan harap palsu

Kupandang silau di tengah ruang
Dengan tatap hampa aku bersidang
Hanyut kah dalam kasih yang rindang
Atau tenggelam kah dalam cinta bersendang
Kepada sayang aku telah meradang

Dua belas aku terjaga
Masihlah lelap tak bisa
Pikirku padamu tak juga sirna
Meski kututup bingkai lama
Hinggap kembali di alam maya

20 Mei 2009

Pintaku Pada-Nya

Ya Allah,,
Jagalah dia..
Biarkan sinarnya selalu terangi angkasa. Berikan sepercik warna antara kehampaan malam. Tebarkan kebahagiaan antara lautan bintang. Sisipkan sepenggal senyuman lirih di kesunyian.

Jagalah dia yang mungkin rapuh. Oleh keraguan atau keputusasaan. Berikan hanya orbit-Mu yang terindah. Jangan putuskan jalannya yang silau. Ku hanya ingin ia selalu bahagia. Meski entah kami tak bisa bersama.

Jagalah dia, pelita petang nan benderang. Hangatkan jiwa kala datang kebekuan. Nyanyikan melodi riang kala terdiam. Beri keteduhan kala tersilaukan dunia.

Jagalah dia, pintaku pada-Mu yang hanya bisa kuberikan, Kepada dia, dia yang aku sayang...

14 Mei 2009

Dua Kawan Lama

Dua kawan lama
Tak bercakap lama
Dua waktu lama
Hilang pun lama
Lupa pun lama
Risau pun lama
Sedih pun lama
Namun canda lama
Senang pun lama
Bahagia pun lama
Curahan hati lama
Biarpun telah lama
Tapi cinta lama
Dua kawan lama
Datang tak lama
Di hati lama
Selalu selamanya lama

10 Mei 2009

Sinar Bulan Untuk Bintang

Hinggap dalam gelap malam
Awan hitam nan kelam
Selimuti raga bintangku hingga karam
Dalam keputusasaan bersuram

Ingin ku bulan terangi engkau yang jatuh
Pancarkan sinar kasih tanpa keruh
Harap ragamu kan sembuh
Meski ku tahu sinarku rapuh

Ingin ku bulan rawat semua luka
Agar kau bintang tak kembali duka
Taburkan segala sinar yang ku punya
Semoga awan hitam tak kawal raga

08 Mei 2009

Memandang Lebih Luas

Sudah sebulan ini aku tak lagi menulis di blogku. Blog yang sepi karena aku hanya suka menulis dan tidak suka menjelajah blog orang lain. Bukan tidak suka, tapi tidak ada waktu.

Tidak tahu kenapa, mungkin UAN telah menahan mood-ku untuk menulis belakangan ini. Stress atau apalah namanya, selama sebulan ini jujur aku merasa tertekan. Capek bercampur muak setiap hari mengerjakan soal-soal yang bisa dikatakan tidak rasional di mataku. Kenapa semua soal harus memakai rumus sedangkan hidup kita bisa mengalir dengan refleks tanpa rumus matematis. Haha! Jangan anggap kata-kataku yang tadi itu dengan serius. Itu hanya pikiran kolot tentang hidup ini karena aku memang sedang frustasi. Sesungguhnya rumus itu diciptakan agar segala yang ada di hidup ini lebih teratur dan terencana.

Aku memang tak begitu suka menghafal rumus, tapi IPA memang pilihanku sejak masuk SMA. Aku harus konsekuen dengan pilihanku. Pikiranku masih awam waktu memilih jurusan. Selain dorongan orang tua, dulu aku memang ingin kuliah di prodi IPA. Siapa sih yan tidak bangga menduduki kelas IPA di SMA? Orang-orang pada umumnya berfikir anak IPA itu pintar dan bisa dikatakan cerdas. Bangga memang meski pikiran ini agak tertekan karena IPA. Semua menganggap kau cerdas karena masuk IPA. I don't think so,, tidak semua anak ipa pintar. Aku mungkin segelintir orang "bejo" di antara orang pintar, hehe. Dan aku senang dengan hal itu. Mungkin ini adalah jalan takdir yang Allah berikan padaku. Just positive thinking guys! Dan bagi yang benar-benar ingin masuk IPA, belajarlah yang keras karena IPA tak mudah (aku pernah merasakan). Dan yang ingin masuk ke IPA tapi belum tersampaikan hasratnya, jangan menyerah, waktu selalu mengalir guys, jadi jangan berhenti sampai di situ saja. Menanam sesuatu pasti akan membuahkan hasil daripada meratapi kegagalan.

Tapi waktu memang bisa merubah segalanya. Aku lebih tertarik ke ilmu sosial. Kebiasaanku menulis dan membaca berita membuka pikiranku. Ternyata dunia ini luas juga, tak hanya Ilmu pengetahuan alam saja yang dibutuhkan di dunia kerja saat ini. Berpikir lebih luas adalah jalan terbaik untuk meraih keberhasilan. Aku selalu percaya kata-kata itu. Work hard and always trust to God!