Sudah lama sekali aku berhenti menulis. Banyak hal yang
melatarbelakanginya. Salah satunya adalah kehampaan pikiran. Tidak ada yang
peduli apakah aku menulis atau tidak. Dulu aku menulis untuk menyampaikan apa
isi hatiku. Lebih tepatnya curhat, dengan tujuan orang yang aku cinta membaca
curhatanku itu. Saat aku berhasil memasukkannya dalam lembaran hidupku, itulah saat
dimana semangatku untuk menulis hilang. Aku terlalu terpana pada kebahagiaan
semu. Terpana pada senyuman-senyuman sesaat yang pada akhirnya hanya
menggoreskan luka. Ya.. Sudah sangat lama.
Pada akhirnya aku menyadari, sesuatu yang indah kadang
terlupa untuk dituliskan. Sesuatu yang sendu justru lebig banyak aku tuliskan.
Merasa bahwa dengan menceritakan hal sendu, orang akan berempati dan memberikan
dukungannya. Tapi pada kenyataannya kita hanya larut pada kesedihan dan sulit
melupakan semuanya. Kalau dulu mungkin menulis adalah curhatan hati, semoga
tulisanku kali ini tak lagi berkutat pada masalah hati namun juga makna-makna
kehidupan.
Umurku memang belum mengakar ke perut bumi. Di usia dua
puluhan ini aku merasa belum membuat apapun yang berharga untuk hidupku
sendiri. Membosankan dan penuh dengan tawa dan candaan mentah. Mungkin karena
budaya di Indonesia tidak mengajarkan budaya kritis dan kurangnya kesadaran
manusianya sendiri untuk mendiskusikan masalah-masalah yang serius. Kadang jika
mengobrol dimanapun, yang dibahas adalah masalah cinta, cinta, dan cinta. “Gimana nggak galau kalau kemana-mana
mikirin cinta”, pikirku. Yang jadi pembahasan hanyalah masalah “aku lagi suka sama X”, “si Y selingkuhin
aku”, “besok aku mau hang out sama Z”, dan masih banyak lagi. Kita harus
berkutat pada masalah cinta orang lain sedangkan urusan cinta diri kita sendiri
belum juga menemukan titik temu. Sama saja dengan mengambil makanan orang lain
sedangkan makanan kita sendiri belum habis. Serakah sekali kita! Tapi ya itulah
hidup bermasyarakat. Kita berubah menjadi makhluk sosialis yang peduli dengan
urusan orang, menganggap itu masalah bersama, dan menyelesaikannya bersama
pula. Ambil positifnya, kita belajar banyak dari masalah orang lain dan
menjadikannya studi kasus dalam menyelesaikan masalah kita nantinya.
Tapi siapa yang salah? Apakah budaya kita memang menjadikan
cinta sebagai landasan hidup bermasyarakat? Aduh, bahasanya kok membingungkan
sekali. Tapi begini, kita ambil contoh dongeng-dongeng yang telah diceritakan
secara turun temurun. Kebanyakan dongeng yang diketahui masyarakat adalah
karena kisah cintanya, ambil contoh Jaka Tarub, Ken Dedes, Bawang Putih, dan
masih banyak lagi. kebanyakan memuat entah itu penolakan cinta, cinta kepaada
bidadari, dll. Hingga kita sendiri kadang melupakan apa nilai moral yang
terkandung dalam cerita tersebut.
Hal yang miris lagi ketika secara tidak sengaja bertemu
dengan teman lama kita di jalan. Yang ditanyakan pertama adalah “eh, apa kabar, masih sama si A (nb:
pura-pura lupa nama) nggak nih?”. Bukanyya menanyakan prestasi atau kerjaan
kita sekarang, tapi menanyyakan masalah
yang jleb seperti itu. Kalau
masih ya oke-oke saja, tapi kalau
sudah tidak bersama lagi kan justru tidak enak dan membuka luka lama orang lain
kan. Tapi sepertinya ada saja orang yang suka diberi pertanyaan semacam itu.
Setidaknya memperlihatkan kalau dia laku. Bukan maksud menyinggung lho ya, tapi
memang beberapa seperti itu. Kalau kamu tersinggung berarti kamu adalah orang
yang aku sebutkan di atas, haha.. (peace choy!)
Sekarang akhirnya nasib cinta semakin miris. Belakangan pun
cinta dijadikan objek tertawaan para comic di stand up comedy. Cinta seakan bahan guyonan seru yang
bisa di mainkan begitu saja. Serunya adalah kita bisa menertawakan sakitnya
hati ini. Cukup dengan tertawa seakan luka kita terobati sejenak. Tapi
hati-hati, ketika guyonan sudah selesai, pasti kita jadi berpikir “kok iya ya..”. Kalau tidak kuat kita
bisa saja tambah terpuruk pada akhirnya. Jadi, kalau tidak mau di tertawakan,
mending tidak usah nonton, kecuali ditertawakan memang bisa membuat kamu lega.
Tidak berhenti di sini saja, sekarang banyak media televise yang
menyiarkan masalah cinta sebagai materi reality show. Sebut saja Take -piiip-
Out, Cari -piiip- dot Com, Marry -piiip- (ceritanya di sensor) dan masih banyak
lagi. Cinta bukan menjadi masalah privat lagi, tapi dipertontonkan di media
seluruh Indonesia. Bayangkan, kita jadian dan di tonton ribuan pasang mata.
Penonton juga merasa terhibur melihat pasangan-pasangan itu kencan dan pada
akhirnya di tolak juga. Mending kalau jadian, ini sudah ditampilkan,
dijelek-jelekkan, di tolak pula. Kasihan sekali pria-pria di layar kaca itu. Lebih
parah lagi orang-orang mulai membindangkannya di Twitter. Ya kalau baik sih
lumayan, nah kalau ditolak? Mampus deh. Kita juga merasa penting melihat sampai
akhir cerita. “Kok akhirnya mbak cantik
itu jadian sama masnya yang kurus dan alay itu? Kok mas yang macho itu mau sama
penyanyi dangdut?” Ya udah sih, itu mereka yang jadian, kok kita yang
sewot.
Tapi apakah cinta akhirnya memberikan damppak positif bagi
kita? Mungkin iya juga sih, ambil positifnya, bisa antar jemput, dianterin
makan dan dibayarin pula, disebrangin jalan, diajak jalan-jalan. Ya positif
sekali sih, kedok cinta membuat salah satu diantaranya sengsara. Hahaha..
Tapi percayalah, suatu hari kita akan menyadari bahwa cinta
itu benar-benar ada dan membuat kita bahagia. Khususnya cinta kedua orang tua.
Cheers, Dian K