06 Februari 2013

Kisah yang Pupus


Saat semua berakhir, rasanya memang menyakitkan. Tak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Mengambil keputusan saat keadaan memanas justru memperparah masalah.
Aku pikir ketika apa yang tidak kita harapkan terjadi, satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah mengakhirinya. Entah dengan cara apapun itu. Dan itulah yang terjadi di hari yang semakin senja itu. Janji yang tak kunjung ditepati, tidur saat harusnya bertemu, tapi itulah akhir dari hubungan ini. Ketika kesabaran harusnya bisa diperpanjang nafasnya. Ketika pikiran seharusnya dingin. Ketika kita seharusnya sama-sama mengalah. Namun beginilah jalannya. Waktu yang menentukan, bola salju akan semakin membesar jika terus digulingkan. Dan akhirnya pecah di lembah jurang yang terjal.
Saat-saat yang awalnya aku meriahkan dengan pesta dan tawa, yang aku habiskan dengan cemooh dan gurauan, yang nantinya berubah duka dan nestapa. Bukan, aku meyakinkan diriku bahwa ini bukan rasa rindu. Ini bukan saatnya menyerah pada keegoisan lelaki. Ini waktunya membuktikan bahwa kaki ini masih bisa melangkah anggun seperti bangau. Namun roh bangau telah terbang di ujung barat, menjelma menjadi flamingo. Merah jambu tapi terpuruk lesu.
Dan butiran kisah itu mulai terbang tertiup angin. Semilir menuju taman nan parau. Bersemayam diantara rimbunnya pohon kamboja. Dan lama kelamaan pupus diurai oleh kemarahan dan kebencian. Tangispun lepas, menari-nari bersama uraian kisah yang semakin menjadi debu. Membanjiri seluruh bola mata yang kemerahan. Dan terjun ke sudut ruangan yang kosong. Tatapan yang kosong.
Jutaan penyesalan hadir bersama tamu undangan yang lain; kerinduan, kegelisahan, kesedihan, dan banyak lagi yang bahkan tidak diundang sekalipun. Kesunyian ini tak tertahan lagi. Kelopak ini tak sanggup membendung hujan yang semakin deras hari demi hari. Badai yang geram mencekam seluruh rasa dan asa ini. Sudah, cukup sudah menjadi egois. Sekali butuh tetap butuh, awalnya.
Ketika bulan kembali meminta bintang, nyatanya tendangan dari langit menjatuhkan bulan pada lain dimensi. Terseok-seok diantara serpihan-serpihan kisah yang terurai. Terbang melayang dalam hampa udara. Begitu sesak hingga tangispun tak bisa mengobati sakitnya terjerembab dalam kisah yang telah usai. Tak ada lagi ucapan harap yang ingin diharapkan. Tak ada ucapan ingin yang harap diinginkan. Pita selebrasi telah dipotong, dan kisah inipun telah menjadi kosong.