22 Mei 2009

Pulang ke Kota Kecil Rumahku

Kala itu matahari kembali kan pulang. Aku memandang semburat sinar merona merah di balik perbukitan tua. Burung-burung pipit hendaklah kembali ke sarang. Terbang melayang di atas kepalaku. Ayam hitam mulai menutup kandang. Menutup hari dengan sepiring jagung kering. Jalanan mulai kosong dan renggang. Hanya derap langkah rodaku yang terdengar menggema mengusik pepohonan sepi. Angin berlumur debu menari bersama daun kering menyapu pandanganku. Sesaat menampar pipiku halus namun menusuk mataku perih. Harum aroma jahe membumbung saat ku lalui bangunan tua nan legam. Asap dimana-mana namun pekerja tetap setia pada sang gulali penyambung nyawa. Pabrik permen jahe itu tetap meroda meski malam kan tiba. Masih ku pacu laju kendaraanku pelan. Ingin ku nikmati sore nan syahdu di kota nan kecil ini. Perumahan mungil semi modern berjajar di sela rumah-rumah nan renta. Seolah ingin tunjukkan, "Lihat! Aku dapat hidup di hamparan rumah tua ini!". Di hadapannya berdiri rumah sakit tua yang sepi. Kolamnya kering, catnya mengelupas, bahkan gerbangnya tertutup sebelah. Satu dua motor tampak terpaku di tempat parkir yang berdebu. Hanya lampu jalan putih terang yang seolah hidup disana. Menerangi sebagian jalan yang buta. Rumah sakit itu terus begadang, karena banyak orang menggantungkan hidup disana.
Jalan lurus menanjak menantangku di depan mata. Ku masukkan gigi dua agar kuat sampai di atas sana. Di sebelah kiri ku lihat pak tua berjenggot lebat tengah memandangku tajam. Bukan, bukan memandangku, namun mencari sesuap nasi di jalanan sepi. Tukang ojek bersama motor tuanya itu mengamati jalanan yang renggang hendak mencari penumpang yang akan memberi keluarganya kehidupan. Hidupnya pastilah tidak semudah anggukan ramahnya pada setiap orang yang ia pandang. Malam menjelang, namun ia masih bekerja.
Tak jauh, hamparan sawah nan hijau serasa meliuk-liuk seiring laju angin nan syahdu. Tiba-tiba seorang nenek renta tengah menyeberang jalan tanpa menoleh kanan kiri. Ku hanya amati dia. Tak tega menyalahkannya atas apa yang telah ia perbuat. Jalannya yang pincang tak hiraukan beban di pundaknya yang berat. 10, 20, mungkin 30 kilogram beban yang ia pikul. Ya, mungkin rumput dan sabit adalah teman hidupnya. Nenek tua pulang membawa kabar gembira pada anak cucunya. "Lihat, nenek dapat banyak rumput untuk kambing kita". Begitu pikirku.
Perjalanan pulang saat itu sedikit memberiku ilham. Betapa keras perjuangan orang tua kita demi sesuap nasi pengganjal nyawa. Keikhlasanlah yang mereka miliki untuk menghidupi kita, buah hati mereka. Hendak ku meneteskan air mata. Mengapa aku sering lupa, pada perjuangan mereka. Bodohnya aku yang masih muda ini. Harusnya aku belajar lebih keras paling tidak untuk membahagiakan mereka.
Terus aku melenggang kangkung dalam satu kilometer jalan menuju rumahku. Aku bagai melaju di gurun dingin yang gelap. Tiada seorangpun teman bersama. Hanya dua roda yang setia. Bersama desiran angin yang berdansa. Tak sabar aku pulang ke dambaan keluarga. Ku percepat laju rodaku. Hingga sampai di sebuah gapura nan bercahaya. Meski rumput liar menggerogoti fondasinya, namun tetap berdiri kokoh menantang jalan raya. Ku sikukan rodaku, berbelok tajam ke arah kanan. Ku lewati gang aspal yang mulai gelap. Senyum tetangga menghangatkan badanku yang membeku karena udara jalanan. Tawa riang anak kecil bercanda gurau di perempatan gang yang menyilaukan. Akhirnya tibalah aku di sebuah rumah kecil yang begitu hangat. Beringin tua kecil di hadapannya mengingatkanku pada masa kecilku di rumah ini. Pagar hijaunya menyegarkan pikiranku. Semerbak wangi lavender mengharumkan penciumanku. Liuk tanaman yang mengelilingi rumah serasa menyambutku bahagia. Lampu neon yang tua itu baru saja ibu hidupkan saat ku tiba di muka rumah. Ku matikan mesin rodaku. Ku sandarkan ia di atas paving merah muda nan kian menghitam. Di muka rumah nampak senyum hangat adikku menyapaku rindu. Tawa tengilnya menghilangkan segala dahaga. Di ruang tamu, sapa orang tuaku meruntuhkan segala kecapaian yang ku bawa usai menuntut ilmu. Hanya bahagia yang kurasa saat itu. Akhirnya aku tiba ke rumahku yang hangat akan kasih sayang, sebuah keluarga besar nan bahagia. Di dalam rumah kecil yang damai. Selamanya...

Tidak ada komentar: